Permasalahan Pendidikan di Indonesia


Pembaharuan kurikulum merupakan salah satu upaya guna meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Kebijakan mengenai kurikulum sering terjadi pro dan kontra. Masyarakat cenderung bersikap negatif terhadap kebijakan pemerintah dalam bidang kurikulum. Pergantian menteri pendidikan juga berdampak pada pergantian kurikulum. Semenjak reformasi, pemerintah sudah melakukan 3 kali pembaharuan kurikulum yaitu pada tahun 2004, 2006 dan terakhir 2013.

Perubahan kurikulum memunculkan pro kontra, ada pihak yang setuju dan ada yang tidak setuju. pihak yang setuju melihat kurikulum sebagai rencana mata pelajaran yang diajarkan di sekolah masih baik. Namun bagi pihak yang melihat kurikulum sebagai pengalaman yang utuh menginginkan perubahan dikarenakan pengalaman yang sekarang dianggap kurang memacu kemajuan pendidikan[1]. Perbedaan seperti ini adalah hal yang biasa, dan ini merupakan satu keindahan di dunia ini.

William Dunn dalam Nanang Fatah[2] mendefinisikan analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan metode inkuiri dan argumentasi berganda untuk menghasilkan dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dalam satu proses pengambilan keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan masalah kebijakan. Analisis kebijakan pendidikan sering diartikan sebagai suatu proses pengkajian pendidikan secara substansial bukan proses pengkajian terhadap kebijakannya[3].

Kebijakan pendidikan merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersisat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan[4]. Kebijakan pendidikan merupakan salah satu kebijakan publik yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Kemendibud melakukan terobosan dalam upaya memecahkan permsalahan yang terjadi pada dunia pendidikan. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada kebutuhan peserta didik[5]. Hal ini yang belum dilaksanakan di Indonesia. Kebijakan publik yang dilakukan pemerintah terlalu banyak nuansa politik dari pada untuk memenuhi kepentingan publik.

Kurikulum 2013 merupakan satu kebijakan yang dilakukan pemerintah guna meyiapkan generasi emas Indonesia tahun 2035 yang dimana ekonomi Indonesia menduduki peringkat 7 dunia. Kemendikbud merumuskan visi Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2005-2025, menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Pemerintah merasa perlu melakukan pembaharuan dalam pendidikan di Indonesia. Permasalahan pendidikan disorientasi dan pemborosan berkaitan dengan Pendidikan bertarah internasional. Kebijakan pendidikan dibuat sambil melihat keluar (outward looking) dengan asumsi agar mampu bersaing dengan Negara lain yang mengabaikan tujuan, realitas, dan kepentingan bangsa. Sri Edi Swasono[6] menyatakan “kita menari atas kendang orang lain”. Kenyataan ini makin memperparah kesenjangan yang terjadi akibat selama ini jalan pendidikan kita hanya meneruskan begitu saja konsep yang dibuatkan pemerintah kolonial.

Proses pendidikan mengalami dehumanisasi dan dekontekstualisasi. Tersebab berorientasi kuantitatif bertaraf internasional, proses pendidikan menjadi naif, tak menyentuh aspek mendalam kemanusiaan murid, yaitu akal budi dan spiritualitas. Para murid dijejali pengetahuan asing yang tak berkaitan dengan kepentingan diri, lingkungan alam dan budaya, serta kebutuhan hidupnya sebagai manusia. Murid-murid tercerabut dari humanitas dan lingkungannya lalu bertumbuh sebagai orang sengsara di negerinya yang kaya; jadi immoral dalam bangsanya yang bergebyar ritual agama, nirjati diri dalam bangsa yang beragam budaya[7].

Permasalahan lainnya adalah banyak terjadi kasus korupsi, kejahatan seksual, tawuran pelajar dan lain sebagainya membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia tidak menekankan pada karakter. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pada tarah ilmu pengetahuan (knowledge) tanpa membekali siswa sikap (attitude) yang memadai. Karakter memberikan gambaran tentang suatu bangsa, sebagai penanda, penciri sekaligus pembeda suatu bangsa dengan bangsa lainnya[8] . Karakter manusia Indonesia seharusnya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Proses pendidikan merupakan cara merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan[9]. Sebagai tindak lanjutnya pada tahun 2011 pemerintah menyiapkan pendidikan karakter yang setiap mata pelajaran harus ada 18 nilai karakter yang sudah disiapkan. Krakter tersebut meliputi: relegius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Pada kenyataannya, pendidikan karakter belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Pendidikan karakter membutuhkan kerjasama antarra sekolah, keluarga dan masyarakat sesuai Trilogi Pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara[10].

Permasalahan pendidikan yang harus dihadapi Indonesia adalah masalah fundamental yang mencakup alasan dan arah pendidikan nasional. Pendidikan bukanlah suatu tindakan yang tanpa arah, tetapi berdasarkan ide-ide dan pemikiran mengenai tindakan mendidik sebagaimana yang diinginkan[11] .Permasalahan kedua adalah masalah struktural atau politik pendidikan dimana konsep dominasi dan kekuasaan bekerja secara represif terhadap jiwa manusia yang memperluas konsep belajar tetapi menghambat perkembangan subyektifitas tertentu[12]. Masalah yang ketiga adalah operasional akibat politik yang menggampangkan pendidikan.

Menurut Sudarwan Danim perilaku sosial dan kemanusiaan bangsa Indonesia benar-benar miskin, ditandai dengan perilaku abnormalkan normalits atau sebaliknya menormalkan abnormalitas. Sudarwan Danim juga menjelaskan beberapa kelemahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia, yaitu lemahnya menejemen dan ketatalaksanaan sekolah, masalah pendanaan, masalah kultural dan yang terakhir adalah fakor geografis[13].

Penyusunan Kurikulum 2013 menitikberatkaan pada penyederhanaan, tematik integratif mengacu pada KTSP di mana ada beberapa permasalahan, di antaranya: 1) Konten kurikulum yang masih terlalu padat yang ditunjukan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampuai tingkat perkembangan usia anak; 2) Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan, fungsi dan tujuan pendidikan nasional; 3) Kompetensi belum menggambarkan secara holistic domain sikap, keterampilan dan pengetahuan; 4) Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan, misalnya pendidikan karakter, keseimbangan soft skills dan hard skills serta kewirausahaan belum terakomodasi di dalam kurikulum; 5) dan Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional maupun global.

Selain itu ada beberapa hal lagi yang titik tekan kelemahan KTSP yaitu Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi yakni proses dan hasil dan serta belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala. KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak multi tafsir[14].

Berbagai permasalahan tersebut membuat Kemendikbub merasa perlu melakukan terobosan pendidikan yaitu dengan menguji cobakan Kurikulum 2013. Kurikulum yang dibuat guna menciptakan generasi masa depan yang mampu bersaing dalam era globalisasi. Pengembangan kurikulum merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Lebih baik terlambat daripada tidak, mungkin itulah prinsip yang selalu digunakan oleh orang Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel